Jumat, 17 Juni 2011

PENYEWAAN RAHIM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A.    Pendahuluan
Puncak kebahagiaan hidup suami istri dalam sebuah rumah tangga, ditandai dengan lahirnya seorang bayi yang didambakan. Semua kebahagiaan dan harapan akan pudar jika mengetahui jika mereka tidak akan mempunyai anak.
Pada dewasa terakhir ini, muncullah penemuan teknologi dalam bidang rekayasa genetika, dalam upaya membantu dan menolong suami isteri yang tidak dapat menurunkan anak. Rekayasa seperti ini ditandai dengan Bayi Tabung, dan Kotak Ajaib yang mampu menyimpan sperma dan ovum sebagai mana layaknya rahim asli.
Khususnya masalah bayi tabung yang selama ini dinilai sebagai penemuan Sains yang membawa kemaslahatan besar bagi manusia, terutama bagi suami istri yang tidak dapat memperoleh anak dengan pembuahan secara alami (in vivo), telah ditemukan metode baru dengan pembuahan di luar rahim (in vitro).
Namun yang menjadi persoalan apabila bayi tabung ini berubah persoalan menjadi “penyewaan rahim”, yakni penitipan sperma dengan ovum dari sepasang suami istri dalam rahim wanita lain. Penyewaan rahim bisa melalui perjanjian atau persyaratan-persyaratan tertentu dari kedua belah pihak, baik perjanjian secara rela sama rela (gratis), atau perjanjian itu berupa kontrak (bisnis). Masalah penyewaan rahim ini telah membudaya di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat.

B.    Tujuan Perkawinan dalam Islam
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama, dalam rangka mendidik keluarga yang harmonis, bahagia, dan sejahtera. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera dalam dalam arti terciptanya ketenangan lahir-batin yang disebabkan oleh terpenuhinya keperluan hidup, sehingga timbullah kebahagiaan dan kasih sayang antar anggota keluarga.
Jadi, tujuan perkawinan dalam islam meliputi dua segi, yakni untuk memenuhi naluri seksual dan memenuhi petunjuk agama. Imam al-Gazali membagi tujuan (faedah) perkawinan atas lima kategori yaitu:
1.    Untuk memperolah keturunan
2.    Untuk menyalurkan syahwat
3.    Untuk menghibur hati
4.    Untuk mengelola rumah tangga
5.    Untuk melaksanakan kewajiban masyarakat.
Kelima tujuan perkawinan menurut al-Gazali di atas, salah satu diantaranya adalah untuk memperolah keturunan, mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan berumah tangga. Karenanya, islam menganjurkan umatnya untuk kawin jika telah memenuhi syarat. Bahkan, Nabi Muhammad SAW, menganjurkan untuk kawin dengan wanita-wanita yang bisa melahirkan keturunan yang banyak.
Pentingnya kehadiran anak dalam kehidupan rumah tangga, bukan hanya sebagai buah hati dan pelipur lara, tetapi juga berfungsi sebagai pembantu dalam kehidupan di dunia, bahkan dapat menambah amal kebajikan di akhirat bila anak tersebut dididik menjadi anak-anak yang saleh.
Itu sebabnya, Al-Quran menganjurkan bagi orang yang belum dianugerahi anak untuk senantiasa berdoa kepada Allah. Namun perlu ditegaskan bahwa kegiatan berdo’a itu harus dibarengi dengan usaha (sesuai dengan ajaran islam), seperti rajin berobat atau melalui proses bayi tabung.

C.    Konsep Ibu Sejati dalam Islam
Seorang wanita dapat disebut sebagai “ibu sejati” jika telah memenuhi dua syarat tugas pokok, yaitu mengandung dan menyusui. Kedua tugas ini dapat dipahami dalam ayat Al-Qur’an berikut ini:
1.    QS. Al-Ahqaf ayat 15 yang berartikan:
“kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang ibu-bapaknya, Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkan dengan susah payah (pula). Sang ibu mengandungnya sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan…”
2.    QS. Al-Baqarah ayat 233 yang berartikan:
“para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yakni bagi ibu yang ingin menyempurnakan penyusuannya…”
Abi al-Su’ud ketika menafsirkan ayat pertama menyatakan bahwa keadaan seorang wanita yang sedang mengandung sangat susah, begitu pula sangat dahsyat keadaannya ketika melahirkan.  Karenanya seorang anak diwajibkan berbuat baik kepada kedua orang tuanya, terutama kepada ibunya.
Akibat susahnya mengandung dan melahirkan tersebut, maka islam melarang pengangkatan anak (adopsi) yang berakibat memutuskan hubungan dengan keluarga yang melahirkannya. Setanya menjadikan orang lain sebagai kedua orang tuanya.
Seorang ibu diwajibkan menyusui anak, meski hanya sebentar. Sedangkan kebolehan menurut jumhur ulama berlaku bagi ibu yang tidak mampu menyempurnakan susuan anaknya, kemudian menyerahkan kepada orang lain untuk menyukupkan penyusuan itu selama dua tahun.
Selanjutnya al-Maragi menyatakan bahwa adanya kewajiban seorang ibu menyusui anaknya, dikarenakan oleh air susu ibu (ASI) merupakan makanan yang paling baik untuk bayi.
Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa pakar kesehatan selalu menganjurkan kepada seorang ibu untuk menyusui anaknya sendiri. Nanti pada bulan-bulan tertentu bayi dapat diberi makanan tambahan. Dalam hal ini penentu status seorang ayah adalah dari sepermanya.
Berdasarkan uraian diatas maka seorang wanita dapat dikatakan “Ibu Sejati) jika telah memenuhi tiga peran sekaligus dalam menghadirkan seorang anak manusia kemuka bumi yaitu Ovum, Mengandung, dan Menyusui. Sedangkan peran ayah hanya satu yaitu pada Sperma.
Jika hal tersebut dikaitkan dengan penyewaan rahim, maka kedua wanita yang terlibat dalam kehadiran seorang anak (ibu genetis dan ibu penghamil) tidak dapat dikategorikan sebagai ibu sejati. Sebab keduanya tidak memenuhi ketiga unsur yang telah disebutkan di atas.
   
D.    Benda yang Boleh Disewakan
Berbicara tentang sewa menyewa, erat kaitannya dengan jual beli. Sebab, syarat dan rukun jual beli sama dengan rukun dan syarat sewa-menyewa. Salah satu syarat dari jual beli adalah harus ada barang yang halal.
Jadi barang yang haram atau najis, tidak dapat diperjual belikan atau di persewakan. Jual beli seperti ini menurut imam mazhab yang empat dinyatakan batal. Salah satu benda yang tidak boleh deperjual belikan atau disewakan adalah darah, karenanya PMI (Palang Merah Indonesia) tidak memperjualbelikan darah, melainkan hanya menerima donor darah.
Memang sperma dan ovum tidak termasuk najis, namun setelah percampuran antara keduanya akan menjadi darah (darah yang melekat pada dinding rahim), maka ia sudah berubah menjadi najis. Hal ini erat kaitannya dengan penyewaan rahim. Sebab pemindahan sel telur yang dibuahi dari tabung gelas kedalam rahim wanita, berlangsung ketika setelah menjadi embrio.
Jadi, sewa menyewa tentang sperma dan ovum, tidak dibenarkan dalam ajaran islam. Meski dalam hal ini yang dipersewakan bukan sperma atau ovum melainkan rahim. Tapi dalam kasus seperti ini ada hubungan timbal balik yakni pemilik rahim (ibu penghamil) dibayar sesuai dengan perjanjian oleh wanita lain sebagai pemilik ovum (ibu genetis). Berarti hukum antara keduanya sama.
Setelah dikaji persoalannya penyewaan rahim dalam kaitannya dengan hukum keluarga dan hukum sewa menyewa, dapat ditegaskan bawa hal tersebut tidak dibenarkan dalam islam.

E.    Bayi Tabung
Bayi tabung dalam istilah ilmiahnya adalah usaha manusia untuk mengadakan pembuahan, dengan menyatukan atau mempertemukan antara sel telur wanita (ovum) dengan spermatozoa pria dalam sebuah tabung gelas. Proses pembuahan seperti ini disibut dengan in vivo. Sedangkan pembuahan secara alamiah dinamakan in vitro.
Masalah bayi tabung, jika sperma dan ovum yang dipertemukan itu berasal dari suami istri yang sah, maka hal itu dibolehkan. Tetapi jika sperma dan ovum yang dipertemukan bukan dari pasangan yang sah, maka hal itu tidak dibenarkan, bahkan dianggap perzinahan yang terselubung.
Dibolehkannya bayi tabung bagi pasangan suami isteri yang sah, dikarenakan manfaatnya sangat besar dalam kehidupan rumah tangga. Bagi suami istri yang merindukan seorang anak, namun tidak bisa berproses secara alami, maka setelah diproses melalui bayi tabung, anak yang dirindukan akan segera hadir di sisinya. Disinilah letak maslahatnya, sehingga kebolehanya didasarkan melalui mashlahat al-mursalah.
Tentu timbul pertanyaan: mengapa bayi tabung diperbolehkan, sedangkan sewa rahim dilarang? Apakah proses yang dilakukan tidak sama? Dan apakah dalam sewa rahim tersebut tidak ada mashlahat yang dapat dipetik?
Dalam memecahkan masalah tersebut, perlu ditegaskan bahwa meskipun proses yang dilalui antara keduanya memiliki persamaan, yakni pertemuan sperma dan ovum berproses dalam tabung gelas tetapi setelah terjadi pembuahan, sel yang tercampur tersebut dimasukkan dalam rahim wanita lain, sehingga dalam hal tersebut terlibat unsur ketiga selain suami isteri yang sah.
Sungguhpun penyewaan rahim tersebut manfaat yang besar tetapi keburukan yang ditimbulkan jauh lebih besar dari manfaatnya. Karenanya masalah ini dapat dianalogikan dengan khamar dan judi, yakni keburukan lebih besar daripada manfaatnya, maka keduanya dilarang oleh Allah SWT.
Keburukan atau bahaya dalam penyewaan rahim adalah kacaunya status anak. Siapa yang berhak menjadi ibu sejati, apakah ibu genetis atau ibu penghamil? Salah satu hal yang jelas dan pasti adalah keduanya tidak memenuhi syarat menjadi ibu sejati.
Bahaya lain yang diakibatkan oleh penyewaan rahim adalah persengketaan antara kedua ibu, yakni keduanya ingin memiliki anak tersebut. Ibu genetik ingin memiliki anak tersebut karena berasal dari ovumnya. Sedangkan ibu penghamil merasa lebih berhak karena ia susah payah mengandung dan melahirkannya. Persengketaan ini telah terjadi di Amerika dan Afrika.

0 komentar:

Posting Komentar