Senin, 25 Juli 2011

MODEL PENELITIAN TAFSIR

A.    Pengertian Tafsir dan Fungsi
    Pengertian tafsir sebagaimana yang dikemukakan pakar Al-Qur’an tampil dalam formasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama. Al-Jurjani, misalnya, mengatakan bahwa tafsir adalah menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun dari sebab al-Nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada mereka yang dikehendaki dengan terang dan jelas. Sedangkan menurut al-Zarqani mengatakan, bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang kandungan Al-Qur’an baik dari segi pemahaman makna maupun arti sesuai dengan yang dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Abu Hayan sebagaimana yang dikutip Al-Suyuthi mengayakan tafsir adalah ilmu yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucap lafadz-lafadz Al-Qur’an disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
       Dari beberapa definisi di atas kita menemukan tiga ciri utama tafsir. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya ialah kitabullah (Al-Qur’an) yang di dalamnya terdapat firman Allah. Yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui malaikat Jibril. Kedua, dilihat dari tujuannya adalah untuk menerangkan, menjelaskan, menyingkap kandungan Al-Qur’an sehingga dapat dijumpai hikmah, hukum, ketetapan, dan kandungan yang terdapat di dalamnya. Ketiga, dilihat dari segi sifat dan kedudukannya adalah hasil penalaran, kajian dan Ijtihat para musaffir yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimiliki sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.
         Kemudian dengan singkat yang dimaksud dengan model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan atau macam dari penyelidikan secara sesama terhadap penafsiran Al-Qur’an yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal yang terkait dengannya.

B.    Model-Model Penelitian Tafsir
       Dalam kajian kepustakaan dapat dijumpai berbagai hasil penelitian pakar Al-Qur’an  terhadap produk tafsir yang dilakukan generasi terdahulu. Berikut ini akan kita kemukakan beberapa model penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan para ulama tafsir:
1.    Model Quraish Shihab
Quraish Shihab telah meneliti seluruh karva tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu dari penelitian tersebut dapat disimpulkan yang berkenaan dengan tafsir antara lain tentang: Periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir, Corak penafsiran, Macam-macam metode penafsiran, Syarat-syarat penafsiran Al-Qur’an, Hubungan tafsir modernisasi. Berbagai aspek yang berkaitan dengan penafsiran Al-Qur’an ini dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut:
a.    Periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir
Perkembangan tafsir dapat dibagi ke dalam tiga periode. Pertama, pada masa Rasulullah, sahabat, permulaan tabi’n di mana tafsir belum tertulis. Kedua, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul ‘Aziz, dimana tafsir ketika ditulis dengan penulisan hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis. Ketiga, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri .
b.    Corak penafsiran
Berdasarkan hasil penelitiannya, Quraish Shihab mengatakan bahwa corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: Corak Sastra, Corak Filsafat dan Teknologi, Corak Penafsiran Ilmiah, Corak Fikih atau Hukum, Corak Tasawuf, Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan.
c.    Macam-macam metode penafsiran
Menurut hasil penelitian Quraish Shihab, bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah diterangkan dan diterapkan oleh pakar-pakar Al-Qur’an. Secara garis besar dapat dibagi dua bagian yaitu:
-    Corak ma’tsur (riwayat)
-    Corak/model penalaran (Metode Tahlily, Metode Ijmali, Metode Muqarin, Metode Maudlu’iy)
2.    Model Ahmad Al-Syarbashi
Pada tahun 1985, Ahmad Al-Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif, dan analisis sebagaimana yang dilakukan oleh Quraish Shihab. Sedangkan sumber yang digunakan adalah bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang ditulis oleh para ulama tafsir, hasil penelitian itu mencakup tiga bidang: Pertama, mengenai sejarah penafsiran Al-Qur’an pada masa sahabat nabi. Kedua, mengenai corak tafsir (tafsir ilmiah, tafsir sufi, tafsir politik , ). Ketiga, mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir.
Menurutnya bahwa tafsir pada zaman Rasulullah SAW, pada awal masa pertumbuhan Islam disusun pendek dan tampak ringkas, karena penggunaan bahasa Arab yang murni pada saat itu yang cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat Al-Quran. Untuk memelihara keutuhan bahasanya, orang-orang Arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti ilmu Nahwu dan Balaghah dan sebagainya. Disamping itu mereka menulis tafsir al-Qur’an untuk pedoman bagi muslimin.
Lebih lanjut Ahmad Al-Syarbashi mengatakan, tentu saja pertama-tama kita harus mengambil tafsir dari Rasul Allah SAW. Melalui riwayat-riwayat yang tidak ada keraguan di dalamnya.
Tentang tafsir ilmiah Ahmad Al-Syarbashi mengatakan, sudah dapat dipastikan bahwa dalam Al-Qur’an tidak terdapat suatu teks induk yang bertentangan dengan bermacam karya ilmiah. Munculnya tafsir ilmiah yang dikemukakan Ahmad Al-Syarbashi tersebut antara lain didasarkan data pada kitab tafsir Ar-razi. Dalam kaitannya kitab Ar-razi banyak bagiannya yang dianggap ilmiah.
Tentang tafsir sufi, Ahmad Al-Syarbashi mengatakan ada kaum Sufi yang sibuk menafsirkan huruf-huruf al-Qur’an dan berusaha menerangkan hubungan satu dengan yang lainnya. Untuk itu Ahmad Al-Syarbashi mengutip pendapat Al-Thusi yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang telah dapat dijangkau dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, segala sesuatu yang telah dapat dipahami dan segala sesuatu yang telah diungkapkan serta diketahui olah manusia, semuanya itu berasal dari dua huruf yang terdapat pada permulaan kitabullah, yaitu, bismillah dan al-hamdulillah.
Mengenai tafsir politik, Ahmad Al-Syarbashi mendasarkan pada kaum Khawarij dan lainnya yang terlibat politik dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Menurut mereka terdapat ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan prilaku dan yang dimainkan oleh kelompok yang bertikai. Misalnya ayat yang artinya: Diantara manusia ada yang mengorbankan dirinya demi keridhaan Allah.(Qs. Al-Baqarah: 207). Menurut mereka ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Mengenai pembaharuan di bidang tafsir, Ahmad Al-Syarbashi mendasarkan pada beberapa karya ulama yang muncul pada awal abad 20. Selanjutnya ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam kitab tafsir yang diberi nama Tafsir Al-Manar, yaitu kitab tafsir yang mengandung perubahan dan sesuai perkembangan zaman.
3.    Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali
Tentang macam-macam metode mengenai Al-Qur’an, Syaikh Muhammad Al-Ghazali membaginya ke dalam metode klasik dan metode modern. Menurutnya dari berbagai kajian tafsir, kita banyak menemukan metode memahami Al-Quran yang berawal dari ulama terdahulu. Kajian-kajian ini berkisah pada usaha-usaha menemukan nilai-nilai sastra, fikih, kalam, pendidikan dan sebagainya.
Selanjutnya Syaikh Muhammad Al-Ghazali mengemukakan adanya metode modern. Metode ini muncul karena adanya kelemahan pada metode klasik. Selanjutnya juga Syaikh Muhammad Al-Ghazali ada juga tafsir yang bercorak dialogis
Berangkat dari adanya berbagai kelemahan yang terkandung dalam metode penafsiran masa lalu, Syaikh Muhammad Al-Ghazali pada sampai suatu saran antara lain: “kita inginkan saat ini adalah karya-karya keislaman yang menambah tajamnya pandangan islam dan bertolak dari pandangan islam yang benar dan berdiri di atas argumen yang memiliki hubungan dengan Al-Qur’an. Kita hendaknya berpandangan bahwa hasil pemikiran manusia adalah relatif dan spekulatif, bisa benar bisa juga salah. Keduanya memiliki bobot yang sama dalam sebuah kegiatan pemikiran. Di sisi lain, kita juga tidak menutup mata terhadap adanya manfaat atau fungsi serta sambungan pemikiran keagamaan lainnya, bila itu semua menggunakan metode yang tepat.
4.    Model Penelitian Lainnya
Di jumpai pula penelitian yang dilakukan para ulama terhadap aspek-aspek tertentu dari Al-Qur’an. Diantaranya ada yang memfokuskan penelitiannya terhadap kemu’jizatan Al-Qur’an, metode-metode, kaidah-kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an, kunci-kunci dalam memahami Al-Qur’an, serta ada pula yang khusus mengenai corak dan arah penafsiran Al-Qur’an yang khusus terjadi pada abad keempat.
Selanjutnya Amin Abdullah dalam bukunya yang berjudul Studi Agama juga telah melakukan penelitian deskriptif secara sederhana terhadap perkembangan tafsir. Amin Abdullah mengatakan jika dilihat secara garis besar, sejarah perjalanan tafsir pada abad pertengahan, agaknya tidak terlalu meleset jika dikatakan bahwa dominasi penulisan tafsir Al-Qur’an secara leksikografis tampak lebih menonjol
Amin Abdullah lebih lanjut mengatakan, meskipun begitu, masih perlu digarisbawahi bahwa karya tafsir mutakhir ini kaya dengan metode komparatif di dalam memahami dan menafsirkan arti suatu kosakata Al-Qur’an.
Tanpa mengecilkan jasa besar tafsir yang bercorak leksikografis, corak penafsiran seperti itu dapat membawa kita kepada pemahaman Al-Qur’an yang kurang utuh karena belum mencerminkan suatu kesatuan pemahaman yang utuh dan terpadu dari ajaran Al-Qur’an yang fundamental.

C.    Prinsip-Prinsip Penafsiran
1.    Al-Quran adalah dokumen untuk manusia. Ia menyebut dirinya sebagai petunjuk bagi manusia serta julukan lain yang senada. Sebagai dokumen untuk manusia, Al-Quran harus dapat selalu memberikan bimbingan kepada manusia dalam hidup dan kehidupan mereka. Dengan kata lain Al-Quran merupakan sumber makna dari nilai mereka.
2.    Sebagai petunjuk Allah yang  jelas dan berkaitan bagi manusia pesan-pesan Al-Quran bersifat universal. Doktrin keabadian Al-Quran ini merupakan doktrin yang disepakati oleh umat islam. Akan tetapi letak keabadian Al-Quran bukan pada makna harfiahnya. Demikian gejala baru yang membagi ayat Al-Quran kepada ayat-ayat “universal” dan “temporal” jelas tidak mendapat dukungan dari doktrin keabadian dan koherensi Al-Quran. Dikotomi universal-temporer ini merupakan akibat dari pemahaman yang harfiah terhadap Al-Quran. Bahwa keabadian Al-Quran tidak terletak pada pemahaman yang harfiah melainkan terletak pada kandungan pesan-pesannya, dapat dilihat dengan jelas pada pemahaman kaum muslimin tentang sejarah islam yang awal.
3.    Al-Quran diwahyukan dalam situasi kesejarahan yang kongkrit. Ia merupakan respon ilahi terhadap situasi Arabia ketika ia diturunkan. Respon tersebut terekam di sana-sini dalam kitab suci Al-Quran. Oleh karena itu mempelajari situasi kesejarahan ini merupakan unsur penting dalam memahami Al-Quran. Situasi kesejarahan tersebut mencakup konteks kesejarahan pra-Quran dan pada masa pewahyuan Al-Quran.
4.    Bahasan-bahasan dalam prinsip terdahulu dengan jelas memperhatikan bahwa memahami konteks kesejarahan dan konteks sastra serta penting dalam menafsirkan Al-Quran selaras dengan pandangan dunianya sendiri. Al-Quran, sebagai suatu kitab suci yang diwahyukan dalam situasi kesejarahan yang konkrit, hanya bisa dipahami sepenuhnya jika kita meletakkannya dalam konteks kesejarahan tersebut, kemudian, karena dalam bentuk akhir Al-Quran yang sampai ke tangan kita tidaklah tersusun secara tematis-kronologis serta tidak mencerminkan perkembangan misi kenabian Muhammad. Yang berlangsung kurang lebih dua puluh tiga tahun, maka penafsiran kitab suci tersebut hanya dapat dilakukan lewat kajian tematis-kronologis. Di samping itu, karena tema atau istilah tertentu memiliki konteks yang jelas dan tertentu di dalam Al-Quran. Konteks langsung ini adalah ayat tempat tema atau istilah itu terdapat, serta ayat-ayat relevan yang mendahului atau mengikutinya.
5.    Pemahaman akan tujuan Al-Quran mutlak dibutuhkan dalam menafsirkan kitab suci tersebut. Dalam garis besarnya tujuan Al-Quran adalah menegakkan suatu tata sosial-moral yang adil, egaliter, dan berlandaskan iman serta dapat bertahan di muka bumi. Gagasan ini telah didengungkan oleh Muhammad Saw. Jadi dapat dikatakan bahwa ajaran Al-Quran semuanya berorientasi pada tindakan dan dimaksudkan untuk menjaga prilaku manusia agar tetap berada di atas jalan yang benar, seirama dengan akhlak mulia serta sesuai dengan tujuan kitab suci tersebut.
6.    Pemahaman akan Al-Quran dalam konteksnya, akan menjadi kajian yang semata-mata bersifat akademis murni bila tidak diproyeksikan untuk memahami kebutuhan-kebutuhan kontemporer. Kalau Al-Quran diakui sebagai petunjuk bagi umat manusia, terutama bagi kaum muslimin, yang selalu relevan bagi mereka kapan saja dan dimana saja, maka penerimaan prinsip ini mutlak adanya. Haruslah dicatat bahwa proyeksi pemahaman atas Al-Quran kepada situasi kekinian dilakukan dengan tidak melangkahi tujuan-tujuan moral Al-Quran.
7.    Tujuan-tujuan moral Al-Quran sesungguhnya dapat dan harus menjadi pedoman dalam memberikan terhadap problem-problem sosial yang muncul di masyarakat. Sebab ia diwahyukan Tuhan sebagai pedoman bagi manusia dalam hidup dan kehidupan mereka. Penyelesaian Qur’aniyyah terhadap problem sosial tidaklah diperoleh dengan merujuk pada ayat-ayat spesifik Al-Quran atau analogi. Oleh karena itu penyelesaian yang Qur’aniyyah yang dimaksud haruslah berangkat dari permasalahan yang cermat akan tujuan-tujuan moral Al-Quran.

Sabtu, 25 Juni 2011

MEMAHAMI EKONOMI ISLAM

Agama dan Ekonomi
Untuk memahami hubungan antara agama secara umum dan ekonomi, kita harus mempelajari cakupan-cakupan dan bidang-bidang kerjanya masing-masing. Agama didefinisikan oleh Rville “penentuan kehidupan manusia sesuai dengan ikatan antara jiwa manusia dan jiwa yang gaib, yang didominasinya terhadap dirinya sendiri dan dunia diketahui oleh manusia dan kepada-Nya dia sangat terikat. Michel Mayer dalam bukunya, mendefinisikan agama sebagai “seperangkat kepercayaan dan aturan yang pasti utuk membimbing kita dalam tindakan kita terhadap Tuhan, orang lain dan terhadap diri kita sendiri. Agama dirangkum secara singkat oleh Muhammad Abdullah Draz sebagai “peta perbuatan”.
Ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai kajian tentang prilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber yang produktif yang langka untuk untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikan untuk konsumsi. Dengan demikian bidang garapan ekonomi adalah salah satu sektor salam prilaku manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT, memberikan beberapa contoh tegas mengenai ajaran-ajaran para Rasul di masa lalu (sebelum Nabi Muhammad SAW,) dalam kaitannya dengan masalah-masalah ekonomi yang menekankan kan bahwa prilaku ekonomi merupakan salah satu pelatihan bidang agama. Sejak permulaan islam di Mekah, bahkan sebelum terbentuknya masyarakat muslim di Madinah, ayat-ayat Al-Qur’an sudah menampilkan pandangan islam mengenai hubungan antara agama dan keimanan terhadap adanya Allah dan hari kiamat, disatu pihak, dan prilaku ekonomi dan sistem ekonomi.
Meskipun semua agama berbicara tentang masalah-masalah ekonomi, agama-agama itu berbeda-beda dalam pandangannya tentang kegiatan-kegiatan ekonomi. Beberapa agama tertentu melihat kegiatan-kegiatan ekonomi manusia hanya sebagai kebutuhan hidup yang seharusnya dilakukan hanya sebatas memenuhi kebutuhan makan dan minumnya semata-mata, sembari beranggapan bahwa kegiatan ekonomi yang melampai batas tersebut merupakan orientasi yang keliru terhadap sumber-sumber manusiawi atau merupakan sejenis kejahatan. Dengan demikian agama yang seperti itu beranggapan bahwa orang-orang yang tidak terlalu terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi lebih dekat dengan Tuhan. Sedangkan islam menganggap kegiatan-kegiatan ekonomi manusia sebagai salah satu aspek dari pelaksanaan tanggung jawabnya di bumi. Orang terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi dia kan bisa semakin baik, selama tetap terjaga keseimbangannya. Harta itu sendiri adalah baik dan keinginan untuk memperolehnya merupakan tujuan yang sah untuk memperolehnya. Karena kegiatan ekonomi yang peroduktif pada dasarnya mempunyai nilai keagamaan, disamping nilai lainnya.

Pengertan Ekonomi Islam
Dalam membahas ekonomi islam, ada satu titik awal yang harus benar-benar kita perhatikan, yaitu ekonomi islam bermuara pada akidah islam, yang bersumber dari syari’at. Sedangkan dari sisi lain adalah Al-Qur’an san As-sunah yang berbahasa arab.
Sebelum mengkaji lebih jauh tentang ekonomi islam maka ada baiknya bila diberikan pengertian ekonomi islam yang dikemukakan oleh para ahli ekonomi islam.
Menurut Muhammad Abdul Manan “Ilmu ekonomi islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai islam.
Menurut M. Umer Chapra “ekonomi islam adalah sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia melalui alokasi dan distribusi sumberdaya yang terbatas yang berada dalam koridor yang mengacu pada pengajaran islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa prilaku makroekonomi yang berkeseimbangan dan tanpa ketidak seimbangan lingkungan.
Menurut Muhammad Nejatullah Ash-sidiqy “ilmu ekonomi islam adalah respon pemikiran muslim terhadap tantangan ekonomi pada masa tertentu.

Prinsip-Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Ekonomi islam secara mendasar sangat berbeda dengan sistem ekonomi yang lain dalam hal tujuan, bentuk, dam coraknya. Sistem tersebut berusaha memecahkan masalah ekonomi manusia dengan cara menempuh jalan tengah antara pola yang ekstrim yaitu kapitalis dan komunis. singkatnya, ekonomi islam adalah sistem ekonomi yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan di dunia dan di akhirat.
Ada tiga asas filsafat ekonomi islam:
-    Semua yang ada dialam semesta ini milik Allah SWT, manusia hanyalah khalifah yang memegang amanah dari Allah untuk menggunakan milik-Nya. Sehingga semua harus tunduk pada Allah sang pencipta.
-    Untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai Khalifah Allah, mausia wajib tolong-menolong dan saling membantu dalam melaksanakan kegiatan ekonomi yang bertujuan untuk beribadah kepada Allah.
-    Manusia harus beriman kepada hari akhir/hari kiamat agar tingkah laku kegiatan ekonomi manusia dapat terkendali sebab ia dadar bahwa semua perbuatan yang dikerjakan akan dipertanggungjawabkan.
Selain dari asas filsafat tersebut ekonomi mempunyai tiga nilai-nilai tertentu yaitu:
-    Nilai dasar kepemilikan
-    Nilai keseimbangan
-    Nilai keadilan

Karakteristik Ekonomi Islam
Karakteristik ekonomi islam adalah islam itu sendiri meliputi tiga asas pokok, ketiganya secara asasi dan bersama mengatur teori ekonomi dalam islam, yaitu asas Akidah, Akhlak, dan Syari’at (Muamalah). Ada beberapa karakteristik ekonomi islam yaitu:
-    Harta kepunyaan Allah manusia hanya sebagai khalifah dari harta tersebut.
-    Ekonomi terikat oleh akidah, syari’at, dan moral
-    Keseimbangan antara jasmani dan rohani
-    Keadilan dan keseimbangan dalam melindungi kepentingan individu dan masyarakat.
-    Adanya bimbingan konsumsi
-    Petunjuk investasi
-    Zakat
-    Larangan riba
 
Rancangan Bangun Ekonomi Islam
Bangunan ekonomi islam didasarkan atas lima nilai universal, yaitu: Tauhid, ‘Adl (keadilan), Nubuwwah (kenabian), Khalifah (kepemerintahan), dan Ma’ad (hasil). Dari kelima nilai dapat menurunkan tiga prinsip derifatif yang menjadi ciri sistem ekonomi islam yaitu: kepemilikan multi jenis, kebebasan bertindak, dan keadilan sosial. Tetapi semua itu belum cukup tanpa adanya Akhlk yang harus dimiliki oleh manusia yang berprilaku dalam ekonomi islam.

Sabtu, 18 Juni 2011

TINGKATAN NAFSU MANUSIA

Amarah
Amarah merupakan tingkatan nafsu manusia yang paling jelek dan paling bawah, apabila manusia memiliki makom nafsu amarah maka manusia seperti ini cenderung banyak melakukan perbuatan maksiad dan ia menikmati perbuatan maksiat tersebut dan dia tidak sadar bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tidak terpuji. manusia semacam ini adalah manusia yang kedudukannya paling rendah di bumi dan sangat dibenco oleh Allah SWT, dan oleh manusia. apabila manusia ini tidak sadar dan tidak mau bertaubat maka Allah SWT, akan memasukkannya kedalam neraka.

Lawamah
Merupakan tingkatan nafu yang ke dua dimana manusia yang memiliki nafsu ini ia memiliki kebaikan tetapi kebaikan itu masih sedikit atau masih kalah dengan kejelekan atau kejahatannya. kecenderunan melakukan perbuatan maksiat atau kejahatan lebih besar daripada perbuatan baiknya. manusia yang memiliki nafsu ini setelah dilakukan pendidikan nafsu (tarbiyatunafsi) maka tingkatan nafsunya akan meningkat yaitu pada tingkatan nafsu yang ketiga.

Malhamah
Merupakan tingkatan nafsu yang ketiga dimana tingkatan ini merupakan tingkatan diatas dari nafsu lawamah, mausia yang mencapai tingkatan ini manusia cenderung melakukan perbuatan baik tetapi perbuatan terclanya belum ia tinggalkan sepenuhnya. pada saat ia melakukan perbuatan tercela ia tidak sadar bahwa ia salah tetapi setelah melakukan perbuatan tercela tersebut dia sadar bahwa dia telah melakukan perbuatan yang salah. dengan kata lain maksiad jalan ibadah pun jalan. selanjutnya setelah manusia ini melakukan pendidikan terhadap nafsunya yaitu dengan cara banyak istighfar dan berzikir kepada Allah SWT, maka tingkatan nafsunya akan meningkat.

Mutmainah
Adalah dimana manusia yang sudah mencapai tingkat ini maka manusia tersebut akan mendapat jaminan untuk masuk surganya Allah SWT. setelah mencapai tingkatan ini manusia selanjutnya akan naik lagi tingkatan nafsunya yang selanjutnya.

Mardiyah
Tingkatan nafsu ini merupakan dimana segala perkataan dan perbuatan akan dituntun dan akan di jaga olah Allah SWT, agar segala perbuatan dan perkataan dapat sesuai dengan ajaran islam dan tidak melenceng dari syari'at.

Rhodiah
Apabila manusia sudah mencapai tingkatan ini segala perkataan dan perbuatan manusia ini akan diridhai olah Allah SWT, manusia yang mencapai tingkatan nafsu ini biasanya sudah mencapai makom wali Allah.
 
Kamil
Tingkat paling puncak dari segala nafsu, ini merupakan tingkat kesempurnaan manusia yang biasanya dimiliki olah para nabi dan rasul Allah.

Jumat, 17 Juni 2011

PENYEWAAN RAHIM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A.    Pendahuluan
Puncak kebahagiaan hidup suami istri dalam sebuah rumah tangga, ditandai dengan lahirnya seorang bayi yang didambakan. Semua kebahagiaan dan harapan akan pudar jika mengetahui jika mereka tidak akan mempunyai anak.
Pada dewasa terakhir ini, muncullah penemuan teknologi dalam bidang rekayasa genetika, dalam upaya membantu dan menolong suami isteri yang tidak dapat menurunkan anak. Rekayasa seperti ini ditandai dengan Bayi Tabung, dan Kotak Ajaib yang mampu menyimpan sperma dan ovum sebagai mana layaknya rahim asli.
Khususnya masalah bayi tabung yang selama ini dinilai sebagai penemuan Sains yang membawa kemaslahatan besar bagi manusia, terutama bagi suami istri yang tidak dapat memperoleh anak dengan pembuahan secara alami (in vivo), telah ditemukan metode baru dengan pembuahan di luar rahim (in vitro).
Namun yang menjadi persoalan apabila bayi tabung ini berubah persoalan menjadi “penyewaan rahim”, yakni penitipan sperma dengan ovum dari sepasang suami istri dalam rahim wanita lain. Penyewaan rahim bisa melalui perjanjian atau persyaratan-persyaratan tertentu dari kedua belah pihak, baik perjanjian secara rela sama rela (gratis), atau perjanjian itu berupa kontrak (bisnis). Masalah penyewaan rahim ini telah membudaya di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat.

B.    Tujuan Perkawinan dalam Islam
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama, dalam rangka mendidik keluarga yang harmonis, bahagia, dan sejahtera. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera dalam dalam arti terciptanya ketenangan lahir-batin yang disebabkan oleh terpenuhinya keperluan hidup, sehingga timbullah kebahagiaan dan kasih sayang antar anggota keluarga.
Jadi, tujuan perkawinan dalam islam meliputi dua segi, yakni untuk memenuhi naluri seksual dan memenuhi petunjuk agama. Imam al-Gazali membagi tujuan (faedah) perkawinan atas lima kategori yaitu:
1.    Untuk memperolah keturunan
2.    Untuk menyalurkan syahwat
3.    Untuk menghibur hati
4.    Untuk mengelola rumah tangga
5.    Untuk melaksanakan kewajiban masyarakat.
Kelima tujuan perkawinan menurut al-Gazali di atas, salah satu diantaranya adalah untuk memperolah keturunan, mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan berumah tangga. Karenanya, islam menganjurkan umatnya untuk kawin jika telah memenuhi syarat. Bahkan, Nabi Muhammad SAW, menganjurkan untuk kawin dengan wanita-wanita yang bisa melahirkan keturunan yang banyak.
Pentingnya kehadiran anak dalam kehidupan rumah tangga, bukan hanya sebagai buah hati dan pelipur lara, tetapi juga berfungsi sebagai pembantu dalam kehidupan di dunia, bahkan dapat menambah amal kebajikan di akhirat bila anak tersebut dididik menjadi anak-anak yang saleh.
Itu sebabnya, Al-Quran menganjurkan bagi orang yang belum dianugerahi anak untuk senantiasa berdoa kepada Allah. Namun perlu ditegaskan bahwa kegiatan berdo’a itu harus dibarengi dengan usaha (sesuai dengan ajaran islam), seperti rajin berobat atau melalui proses bayi tabung.

C.    Konsep Ibu Sejati dalam Islam
Seorang wanita dapat disebut sebagai “ibu sejati” jika telah memenuhi dua syarat tugas pokok, yaitu mengandung dan menyusui. Kedua tugas ini dapat dipahami dalam ayat Al-Qur’an berikut ini:
1.    QS. Al-Ahqaf ayat 15 yang berartikan:
“kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang ibu-bapaknya, Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkan dengan susah payah (pula). Sang ibu mengandungnya sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan…”
2.    QS. Al-Baqarah ayat 233 yang berartikan:
“para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yakni bagi ibu yang ingin menyempurnakan penyusuannya…”
Abi al-Su’ud ketika menafsirkan ayat pertama menyatakan bahwa keadaan seorang wanita yang sedang mengandung sangat susah, begitu pula sangat dahsyat keadaannya ketika melahirkan.  Karenanya seorang anak diwajibkan berbuat baik kepada kedua orang tuanya, terutama kepada ibunya.
Akibat susahnya mengandung dan melahirkan tersebut, maka islam melarang pengangkatan anak (adopsi) yang berakibat memutuskan hubungan dengan keluarga yang melahirkannya. Setanya menjadikan orang lain sebagai kedua orang tuanya.
Seorang ibu diwajibkan menyusui anak, meski hanya sebentar. Sedangkan kebolehan menurut jumhur ulama berlaku bagi ibu yang tidak mampu menyempurnakan susuan anaknya, kemudian menyerahkan kepada orang lain untuk menyukupkan penyusuan itu selama dua tahun.
Selanjutnya al-Maragi menyatakan bahwa adanya kewajiban seorang ibu menyusui anaknya, dikarenakan oleh air susu ibu (ASI) merupakan makanan yang paling baik untuk bayi.
Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa pakar kesehatan selalu menganjurkan kepada seorang ibu untuk menyusui anaknya sendiri. Nanti pada bulan-bulan tertentu bayi dapat diberi makanan tambahan. Dalam hal ini penentu status seorang ayah adalah dari sepermanya.
Berdasarkan uraian diatas maka seorang wanita dapat dikatakan “Ibu Sejati) jika telah memenuhi tiga peran sekaligus dalam menghadirkan seorang anak manusia kemuka bumi yaitu Ovum, Mengandung, dan Menyusui. Sedangkan peran ayah hanya satu yaitu pada Sperma.
Jika hal tersebut dikaitkan dengan penyewaan rahim, maka kedua wanita yang terlibat dalam kehadiran seorang anak (ibu genetis dan ibu penghamil) tidak dapat dikategorikan sebagai ibu sejati. Sebab keduanya tidak memenuhi ketiga unsur yang telah disebutkan di atas.
   
D.    Benda yang Boleh Disewakan
Berbicara tentang sewa menyewa, erat kaitannya dengan jual beli. Sebab, syarat dan rukun jual beli sama dengan rukun dan syarat sewa-menyewa. Salah satu syarat dari jual beli adalah harus ada barang yang halal.
Jadi barang yang haram atau najis, tidak dapat diperjual belikan atau di persewakan. Jual beli seperti ini menurut imam mazhab yang empat dinyatakan batal. Salah satu benda yang tidak boleh deperjual belikan atau disewakan adalah darah, karenanya PMI (Palang Merah Indonesia) tidak memperjualbelikan darah, melainkan hanya menerima donor darah.
Memang sperma dan ovum tidak termasuk najis, namun setelah percampuran antara keduanya akan menjadi darah (darah yang melekat pada dinding rahim), maka ia sudah berubah menjadi najis. Hal ini erat kaitannya dengan penyewaan rahim. Sebab pemindahan sel telur yang dibuahi dari tabung gelas kedalam rahim wanita, berlangsung ketika setelah menjadi embrio.
Jadi, sewa menyewa tentang sperma dan ovum, tidak dibenarkan dalam ajaran islam. Meski dalam hal ini yang dipersewakan bukan sperma atau ovum melainkan rahim. Tapi dalam kasus seperti ini ada hubungan timbal balik yakni pemilik rahim (ibu penghamil) dibayar sesuai dengan perjanjian oleh wanita lain sebagai pemilik ovum (ibu genetis). Berarti hukum antara keduanya sama.
Setelah dikaji persoalannya penyewaan rahim dalam kaitannya dengan hukum keluarga dan hukum sewa menyewa, dapat ditegaskan bawa hal tersebut tidak dibenarkan dalam islam.

E.    Bayi Tabung
Bayi tabung dalam istilah ilmiahnya adalah usaha manusia untuk mengadakan pembuahan, dengan menyatukan atau mempertemukan antara sel telur wanita (ovum) dengan spermatozoa pria dalam sebuah tabung gelas. Proses pembuahan seperti ini disibut dengan in vivo. Sedangkan pembuahan secara alamiah dinamakan in vitro.
Masalah bayi tabung, jika sperma dan ovum yang dipertemukan itu berasal dari suami istri yang sah, maka hal itu dibolehkan. Tetapi jika sperma dan ovum yang dipertemukan bukan dari pasangan yang sah, maka hal itu tidak dibenarkan, bahkan dianggap perzinahan yang terselubung.
Dibolehkannya bayi tabung bagi pasangan suami isteri yang sah, dikarenakan manfaatnya sangat besar dalam kehidupan rumah tangga. Bagi suami istri yang merindukan seorang anak, namun tidak bisa berproses secara alami, maka setelah diproses melalui bayi tabung, anak yang dirindukan akan segera hadir di sisinya. Disinilah letak maslahatnya, sehingga kebolehanya didasarkan melalui mashlahat al-mursalah.
Tentu timbul pertanyaan: mengapa bayi tabung diperbolehkan, sedangkan sewa rahim dilarang? Apakah proses yang dilakukan tidak sama? Dan apakah dalam sewa rahim tersebut tidak ada mashlahat yang dapat dipetik?
Dalam memecahkan masalah tersebut, perlu ditegaskan bahwa meskipun proses yang dilalui antara keduanya memiliki persamaan, yakni pertemuan sperma dan ovum berproses dalam tabung gelas tetapi setelah terjadi pembuahan, sel yang tercampur tersebut dimasukkan dalam rahim wanita lain, sehingga dalam hal tersebut terlibat unsur ketiga selain suami isteri yang sah.
Sungguhpun penyewaan rahim tersebut manfaat yang besar tetapi keburukan yang ditimbulkan jauh lebih besar dari manfaatnya. Karenanya masalah ini dapat dianalogikan dengan khamar dan judi, yakni keburukan lebih besar daripada manfaatnya, maka keduanya dilarang oleh Allah SWT.
Keburukan atau bahaya dalam penyewaan rahim adalah kacaunya status anak. Siapa yang berhak menjadi ibu sejati, apakah ibu genetis atau ibu penghamil? Salah satu hal yang jelas dan pasti adalah keduanya tidak memenuhi syarat menjadi ibu sejati.
Bahaya lain yang diakibatkan oleh penyewaan rahim adalah persengketaan antara kedua ibu, yakni keduanya ingin memiliki anak tersebut. Ibu genetik ingin memiliki anak tersebut karena berasal dari ovumnya. Sedangkan ibu penghamil merasa lebih berhak karena ia susah payah mengandung dan melahirkannya. Persengketaan ini telah terjadi di Amerika dan Afrika.

Kamis, 16 Juni 2011

MEMAHAMI DIRI MANUSIA

Pendahuluan

     Pada zaman yang serba modern dan pada era milenium, manusia banyak yang lupa tentang makna dirinya sendiri. Banyak mata manusia terbelalak melihat kemajuan teknologi tetapi dia terpejam tentang agama yang sebenarnya merupakan hal yang tidak kalah penting. Karena kelupaannya pada tentang dirinya sendiri, banyak pula manusia yang tersesat, tidak tahu tentang untuk apa dirinya diciptakan olah sang pencipta dan sebagai apa manusia berada di bumi ini.
     Allah menciptakan manusia hanya untuk beribadah dan menyembah-Nya. Serta kedudukan dan keberadaan manusia di muka bumi ini adalah sebagai Khalifah atau pemimpin. Dengan itu manusia harus melaksanakan amanah yang telah diberikan Allah dengan menjaga dan merawat apa yang ada di bumi. Menjaga kelestarian lingkungan alam serta menjaga hubungan baik individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok merupakan hal yang sangat penting.
     Manusia juga harus sadar bahwa segala perbuatan yang dilakukan sekecil apapun akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di Yaumil Akhir. Dengan kesadaran itu yang selalu dipegang maka perbuatan manusia akan cenderung untuk berbuat baik dan selalu terkontrol. Manusia harus menggunakan akal untuk berfikir dan menggunakan hati nurani sebagai tolak ukur dalam melakukan segala perbuatan.
        Pada dasarnya perbuatan manusia itu terbagi menjadi dua, yaitu perbuatan baik dan perbuatan buruk.    Perbuatan baik merupakan perbuatan yang tidak melenceng dari aturan, sedangkan perbuatan buruk merupakan kebalikan dari perbuatan baik, Dalam melakukan perbuatan baik dan buruk manusia memiliki faktor-faktor tertentu, dan untuk dapat mengendalikannya maka hendaklah dengan agama yang benar  yaitu Islam.

Mengetahui Apa Itu Manusia
     Allah menciptakan makhluk yang jumlahnya sangat banyak dan tidak terhitung. Diantara makhluk yang diciptakan Allah yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain adalah manusia. Bukti dari kesempurnaan manusia adalah terletak pada akal dan nafsu yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Bukti lain dari kesempurnaan manusia yaitu bentuk tubuh yang sangat sempurna yang tidak dimiliki makhluk lain.
     Manusia memiliki dua unsur penting agar dapat dia benar-benar dikatakan manusia, dua unsur tersebut adalah jasad dan ruh. Jasad merupakan lembaga ruh/wadah dari ruh dan ruh itu sendiri adalah hakekat dari manusia, karena hanya dengan ruh, manusia dapat mengetahui segala sesuatu. Apabila hanya memiliki jasad saja belum dikatakan manusia tetapi bangkai, apabila hanya ruh saja juga bukan dikatakan manusia yang utuh.
     Allah menciptakan manusia selain sebagai makhluk yang sempurna, Allah juga memberikan amanat kepada manusia untuk menjadi Khalifah di muka bumi ini. Amanat yang diberikan Allah kepada manusia merupakan bentuk dari kemuliaan yang dimiliki oleh manusia agar dapat menjaga dan melestarikan bumi, bukan malah merusak dan menghancurkannya. Apabila manusia menjaga dan melestarikan bumi maka bumi akan memberikan manfaat yang sangat besar dalam kelangsungan hidup manusia, tetapi bila manusia merusak bumi dan tidak menjaga kelestariannya maka bumi dapat menjadi dan membuat manusia dalam kesusahan dan kesengsaraan bahkan sampai pada kemurkaan Allah berupa timbulnya bencana alam yang menghancurkan.
     Untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini, maka manusia perlu menjalin kerjasama sosial yang baik dan bergotong royong dalam kehidupan. Selain itu manusia harus selalu sadar bahwa segala perbuatan manusia akan dicatat dan akan diberi balasan oleh Allah, dengan kesadaran yang tinggi mengenai hal ini maka segala perbuatan manusia akan selalu terkontrol.  

Perbuatan Baik dan Buruk
     Perbuatan baik adalah bentuk perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang perbuatan itu tidak melanggar dari norma/aturan dari agama yaitu Al-Qur’an dan Sunnah rasul. Perbuatan buruk adalah perbuatan yang dilakukan manusia yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Agama mengajarkan kepada manusia untuk selalu melakukan perbuatan baik. Perbuatan baik yang dilakukan manusia di dunia ini maka kelak akan mendapat balasan yang baik pula di akhirat, dan perbuatan buruk akan mendapat keburukan pula kelak.
     Manusia pada dasarnya merupakan tidak lepas dari salah dan lupa, jadi semua manusia di muka bumi ini pasi pernah melakukan kesalahan yaitu pernah melakukan perbuatan yang buruk yang melanggar syariat walaupun yang dilanggar itu hal yang kecil. Walaupun manusia tempat salah dan lupa, manusia dituntut untuk meminimalisir perbuatan buruk, yaitu dengan membentengi diri dengan agama yang diridhai oleh Allah. Karena manusia pernah melakukan perbuatan baik dan buruk dalam kehidupan  maka Islam mengajarkan kepada manusia untuk memperbanyak perbuatan baik, sesuai dengan hadits, yaitu:
Muhammad Rasulullah SAW. Bersabda “ Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapusnya. Dan berakhlaklah yang baik terhadap sesama manusia”. (HR. Thabrani)
Dalam hadits dijelaskan bahwa manusia dituntut untuk melakukan perbuatan baik, semakin banyak manusia melakukan perbuatan baik maka perbuatan baik yang dilakukan dapat menghapus perbuatan buruk.
     Manusia melakukan perbuatan baik seharusnya bertujuan untuk mendapat ridha dari Allah, bukan untuk mendapat penilaian baik dari manusia lain, karena segala perbuatan baik yang dilakukan manusia untuk mendapat keridhaan Allah maka perbuatan itu merupakan ibadah. Perbuatan baik yang dilakukan tidak mengharap ridha-Nya atau dengan tujuan selain Allah maka perbuatan itu tidak terhitung sebagai ibadah. Sedangkan manusia yang sedang melakukan perbuatan buruk maka sebenarnya dia tidak dalam keadaan beriman, dan di tuntut untuk segera bertaubat kepada Allah serta kembali ke jalan yang benar sesuai syariat.

Kesimpulan
     Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lain. Manusia selain sebagai makhluk yang sempurna manusia di beri amanat sebagai khalifah di muka bumi, untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, bukan malah untuk menghancurkan bumi. Manusia harus sadar bahwa segala perbuatan yang dilakukan di dunia ini akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.
     Manusia pada hakekatnya tempat salah dan lupa, manusia dituntut untuk meminimalisir perbuatan buruk, yaitu dengan membentengi diri dengan agama yang diridhai oleh Allah. Karena manusia pernah melakukan perbuatan baik dan buruk dalam kehidupan  maka Islam mengajarkan kepada manusia untuk memperbanyak perbuatan baik, karena perbuatan baik yang dilakukan dapat menghapus perbuatan buruk.