Senin, 25 Juli 2011

MODEL PENELITIAN TAFSIR

A.    Pengertian Tafsir dan Fungsi
    Pengertian tafsir sebagaimana yang dikemukakan pakar Al-Qur’an tampil dalam formasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama. Al-Jurjani, misalnya, mengatakan bahwa tafsir adalah menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun dari sebab al-Nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada mereka yang dikehendaki dengan terang dan jelas. Sedangkan menurut al-Zarqani mengatakan, bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang kandungan Al-Qur’an baik dari segi pemahaman makna maupun arti sesuai dengan yang dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Abu Hayan sebagaimana yang dikutip Al-Suyuthi mengayakan tafsir adalah ilmu yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucap lafadz-lafadz Al-Qur’an disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
       Dari beberapa definisi di atas kita menemukan tiga ciri utama tafsir. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya ialah kitabullah (Al-Qur’an) yang di dalamnya terdapat firman Allah. Yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui malaikat Jibril. Kedua, dilihat dari tujuannya adalah untuk menerangkan, menjelaskan, menyingkap kandungan Al-Qur’an sehingga dapat dijumpai hikmah, hukum, ketetapan, dan kandungan yang terdapat di dalamnya. Ketiga, dilihat dari segi sifat dan kedudukannya adalah hasil penalaran, kajian dan Ijtihat para musaffir yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimiliki sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.
         Kemudian dengan singkat yang dimaksud dengan model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan atau macam dari penyelidikan secara sesama terhadap penafsiran Al-Qur’an yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal yang terkait dengannya.

B.    Model-Model Penelitian Tafsir
       Dalam kajian kepustakaan dapat dijumpai berbagai hasil penelitian pakar Al-Qur’an  terhadap produk tafsir yang dilakukan generasi terdahulu. Berikut ini akan kita kemukakan beberapa model penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan para ulama tafsir:
1.    Model Quraish Shihab
Quraish Shihab telah meneliti seluruh karva tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu dari penelitian tersebut dapat disimpulkan yang berkenaan dengan tafsir antara lain tentang: Periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir, Corak penafsiran, Macam-macam metode penafsiran, Syarat-syarat penafsiran Al-Qur’an, Hubungan tafsir modernisasi. Berbagai aspek yang berkaitan dengan penafsiran Al-Qur’an ini dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut:
a.    Periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir
Perkembangan tafsir dapat dibagi ke dalam tiga periode. Pertama, pada masa Rasulullah, sahabat, permulaan tabi’n di mana tafsir belum tertulis. Kedua, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul ‘Aziz, dimana tafsir ketika ditulis dengan penulisan hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis. Ketiga, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri .
b.    Corak penafsiran
Berdasarkan hasil penelitiannya, Quraish Shihab mengatakan bahwa corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: Corak Sastra, Corak Filsafat dan Teknologi, Corak Penafsiran Ilmiah, Corak Fikih atau Hukum, Corak Tasawuf, Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan.
c.    Macam-macam metode penafsiran
Menurut hasil penelitian Quraish Shihab, bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah diterangkan dan diterapkan oleh pakar-pakar Al-Qur’an. Secara garis besar dapat dibagi dua bagian yaitu:
-    Corak ma’tsur (riwayat)
-    Corak/model penalaran (Metode Tahlily, Metode Ijmali, Metode Muqarin, Metode Maudlu’iy)
2.    Model Ahmad Al-Syarbashi
Pada tahun 1985, Ahmad Al-Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif, dan analisis sebagaimana yang dilakukan oleh Quraish Shihab. Sedangkan sumber yang digunakan adalah bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang ditulis oleh para ulama tafsir, hasil penelitian itu mencakup tiga bidang: Pertama, mengenai sejarah penafsiran Al-Qur’an pada masa sahabat nabi. Kedua, mengenai corak tafsir (tafsir ilmiah, tafsir sufi, tafsir politik , ). Ketiga, mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir.
Menurutnya bahwa tafsir pada zaman Rasulullah SAW, pada awal masa pertumbuhan Islam disusun pendek dan tampak ringkas, karena penggunaan bahasa Arab yang murni pada saat itu yang cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat Al-Quran. Untuk memelihara keutuhan bahasanya, orang-orang Arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti ilmu Nahwu dan Balaghah dan sebagainya. Disamping itu mereka menulis tafsir al-Qur’an untuk pedoman bagi muslimin.
Lebih lanjut Ahmad Al-Syarbashi mengatakan, tentu saja pertama-tama kita harus mengambil tafsir dari Rasul Allah SAW. Melalui riwayat-riwayat yang tidak ada keraguan di dalamnya.
Tentang tafsir ilmiah Ahmad Al-Syarbashi mengatakan, sudah dapat dipastikan bahwa dalam Al-Qur’an tidak terdapat suatu teks induk yang bertentangan dengan bermacam karya ilmiah. Munculnya tafsir ilmiah yang dikemukakan Ahmad Al-Syarbashi tersebut antara lain didasarkan data pada kitab tafsir Ar-razi. Dalam kaitannya kitab Ar-razi banyak bagiannya yang dianggap ilmiah.
Tentang tafsir sufi, Ahmad Al-Syarbashi mengatakan ada kaum Sufi yang sibuk menafsirkan huruf-huruf al-Qur’an dan berusaha menerangkan hubungan satu dengan yang lainnya. Untuk itu Ahmad Al-Syarbashi mengutip pendapat Al-Thusi yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang telah dapat dijangkau dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, segala sesuatu yang telah dapat dipahami dan segala sesuatu yang telah diungkapkan serta diketahui olah manusia, semuanya itu berasal dari dua huruf yang terdapat pada permulaan kitabullah, yaitu, bismillah dan al-hamdulillah.
Mengenai tafsir politik, Ahmad Al-Syarbashi mendasarkan pada kaum Khawarij dan lainnya yang terlibat politik dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Menurut mereka terdapat ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan prilaku dan yang dimainkan oleh kelompok yang bertikai. Misalnya ayat yang artinya: Diantara manusia ada yang mengorbankan dirinya demi keridhaan Allah.(Qs. Al-Baqarah: 207). Menurut mereka ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Mengenai pembaharuan di bidang tafsir, Ahmad Al-Syarbashi mendasarkan pada beberapa karya ulama yang muncul pada awal abad 20. Selanjutnya ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam kitab tafsir yang diberi nama Tafsir Al-Manar, yaitu kitab tafsir yang mengandung perubahan dan sesuai perkembangan zaman.
3.    Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali
Tentang macam-macam metode mengenai Al-Qur’an, Syaikh Muhammad Al-Ghazali membaginya ke dalam metode klasik dan metode modern. Menurutnya dari berbagai kajian tafsir, kita banyak menemukan metode memahami Al-Quran yang berawal dari ulama terdahulu. Kajian-kajian ini berkisah pada usaha-usaha menemukan nilai-nilai sastra, fikih, kalam, pendidikan dan sebagainya.
Selanjutnya Syaikh Muhammad Al-Ghazali mengemukakan adanya metode modern. Metode ini muncul karena adanya kelemahan pada metode klasik. Selanjutnya juga Syaikh Muhammad Al-Ghazali ada juga tafsir yang bercorak dialogis
Berangkat dari adanya berbagai kelemahan yang terkandung dalam metode penafsiran masa lalu, Syaikh Muhammad Al-Ghazali pada sampai suatu saran antara lain: “kita inginkan saat ini adalah karya-karya keislaman yang menambah tajamnya pandangan islam dan bertolak dari pandangan islam yang benar dan berdiri di atas argumen yang memiliki hubungan dengan Al-Qur’an. Kita hendaknya berpandangan bahwa hasil pemikiran manusia adalah relatif dan spekulatif, bisa benar bisa juga salah. Keduanya memiliki bobot yang sama dalam sebuah kegiatan pemikiran. Di sisi lain, kita juga tidak menutup mata terhadap adanya manfaat atau fungsi serta sambungan pemikiran keagamaan lainnya, bila itu semua menggunakan metode yang tepat.
4.    Model Penelitian Lainnya
Di jumpai pula penelitian yang dilakukan para ulama terhadap aspek-aspek tertentu dari Al-Qur’an. Diantaranya ada yang memfokuskan penelitiannya terhadap kemu’jizatan Al-Qur’an, metode-metode, kaidah-kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an, kunci-kunci dalam memahami Al-Qur’an, serta ada pula yang khusus mengenai corak dan arah penafsiran Al-Qur’an yang khusus terjadi pada abad keempat.
Selanjutnya Amin Abdullah dalam bukunya yang berjudul Studi Agama juga telah melakukan penelitian deskriptif secara sederhana terhadap perkembangan tafsir. Amin Abdullah mengatakan jika dilihat secara garis besar, sejarah perjalanan tafsir pada abad pertengahan, agaknya tidak terlalu meleset jika dikatakan bahwa dominasi penulisan tafsir Al-Qur’an secara leksikografis tampak lebih menonjol
Amin Abdullah lebih lanjut mengatakan, meskipun begitu, masih perlu digarisbawahi bahwa karya tafsir mutakhir ini kaya dengan metode komparatif di dalam memahami dan menafsirkan arti suatu kosakata Al-Qur’an.
Tanpa mengecilkan jasa besar tafsir yang bercorak leksikografis, corak penafsiran seperti itu dapat membawa kita kepada pemahaman Al-Qur’an yang kurang utuh karena belum mencerminkan suatu kesatuan pemahaman yang utuh dan terpadu dari ajaran Al-Qur’an yang fundamental.

C.    Prinsip-Prinsip Penafsiran
1.    Al-Quran adalah dokumen untuk manusia. Ia menyebut dirinya sebagai petunjuk bagi manusia serta julukan lain yang senada. Sebagai dokumen untuk manusia, Al-Quran harus dapat selalu memberikan bimbingan kepada manusia dalam hidup dan kehidupan mereka. Dengan kata lain Al-Quran merupakan sumber makna dari nilai mereka.
2.    Sebagai petunjuk Allah yang  jelas dan berkaitan bagi manusia pesan-pesan Al-Quran bersifat universal. Doktrin keabadian Al-Quran ini merupakan doktrin yang disepakati oleh umat islam. Akan tetapi letak keabadian Al-Quran bukan pada makna harfiahnya. Demikian gejala baru yang membagi ayat Al-Quran kepada ayat-ayat “universal” dan “temporal” jelas tidak mendapat dukungan dari doktrin keabadian dan koherensi Al-Quran. Dikotomi universal-temporer ini merupakan akibat dari pemahaman yang harfiah terhadap Al-Quran. Bahwa keabadian Al-Quran tidak terletak pada pemahaman yang harfiah melainkan terletak pada kandungan pesan-pesannya, dapat dilihat dengan jelas pada pemahaman kaum muslimin tentang sejarah islam yang awal.
3.    Al-Quran diwahyukan dalam situasi kesejarahan yang kongkrit. Ia merupakan respon ilahi terhadap situasi Arabia ketika ia diturunkan. Respon tersebut terekam di sana-sini dalam kitab suci Al-Quran. Oleh karena itu mempelajari situasi kesejarahan ini merupakan unsur penting dalam memahami Al-Quran. Situasi kesejarahan tersebut mencakup konteks kesejarahan pra-Quran dan pada masa pewahyuan Al-Quran.
4.    Bahasan-bahasan dalam prinsip terdahulu dengan jelas memperhatikan bahwa memahami konteks kesejarahan dan konteks sastra serta penting dalam menafsirkan Al-Quran selaras dengan pandangan dunianya sendiri. Al-Quran, sebagai suatu kitab suci yang diwahyukan dalam situasi kesejarahan yang konkrit, hanya bisa dipahami sepenuhnya jika kita meletakkannya dalam konteks kesejarahan tersebut, kemudian, karena dalam bentuk akhir Al-Quran yang sampai ke tangan kita tidaklah tersusun secara tematis-kronologis serta tidak mencerminkan perkembangan misi kenabian Muhammad. Yang berlangsung kurang lebih dua puluh tiga tahun, maka penafsiran kitab suci tersebut hanya dapat dilakukan lewat kajian tematis-kronologis. Di samping itu, karena tema atau istilah tertentu memiliki konteks yang jelas dan tertentu di dalam Al-Quran. Konteks langsung ini adalah ayat tempat tema atau istilah itu terdapat, serta ayat-ayat relevan yang mendahului atau mengikutinya.
5.    Pemahaman akan tujuan Al-Quran mutlak dibutuhkan dalam menafsirkan kitab suci tersebut. Dalam garis besarnya tujuan Al-Quran adalah menegakkan suatu tata sosial-moral yang adil, egaliter, dan berlandaskan iman serta dapat bertahan di muka bumi. Gagasan ini telah didengungkan oleh Muhammad Saw. Jadi dapat dikatakan bahwa ajaran Al-Quran semuanya berorientasi pada tindakan dan dimaksudkan untuk menjaga prilaku manusia agar tetap berada di atas jalan yang benar, seirama dengan akhlak mulia serta sesuai dengan tujuan kitab suci tersebut.
6.    Pemahaman akan Al-Quran dalam konteksnya, akan menjadi kajian yang semata-mata bersifat akademis murni bila tidak diproyeksikan untuk memahami kebutuhan-kebutuhan kontemporer. Kalau Al-Quran diakui sebagai petunjuk bagi umat manusia, terutama bagi kaum muslimin, yang selalu relevan bagi mereka kapan saja dan dimana saja, maka penerimaan prinsip ini mutlak adanya. Haruslah dicatat bahwa proyeksi pemahaman atas Al-Quran kepada situasi kekinian dilakukan dengan tidak melangkahi tujuan-tujuan moral Al-Quran.
7.    Tujuan-tujuan moral Al-Quran sesungguhnya dapat dan harus menjadi pedoman dalam memberikan terhadap problem-problem sosial yang muncul di masyarakat. Sebab ia diwahyukan Tuhan sebagai pedoman bagi manusia dalam hidup dan kehidupan mereka. Penyelesaian Qur’aniyyah terhadap problem sosial tidaklah diperoleh dengan merujuk pada ayat-ayat spesifik Al-Quran atau analogi. Oleh karena itu penyelesaian yang Qur’aniyyah yang dimaksud haruslah berangkat dari permasalahan yang cermat akan tujuan-tujuan moral Al-Quran.